Friday, 2 October 2015

Baik dan Pelit

Ceritanya gini, saya sempet bingung, kenapa yah banyak orang yang menyimpulkan kalau orang baik itu adalah orang yang tidak pelit, sebaliknya orang pelit itu adalah orang yang tidak baik, tapi masalahnya orang yang punya anggapan demikian justru memperlakukan orang pelit itu lebih pelit lagi. Jadi sebenarnya siapa orang baik itu. Pelit disini bukan pelit dalam artian pelit kepada pengemis, fakir miskin, ataupun pelit karena dia tidak pernah membantu orang yang kesusahan.
Tapi pelit disini simple bangat, cuma karena si X tidak pernah bagi-bagi makanan di kantor, jarang bawa makanan yang bisa dimakan sama-sama, ulang tahun pun lupa bawa kue, si X langsung dianggap pelit yang akhirnya dengan penghakiman tertentu ekuivalen dengan orang tidak baik. Tapi si Y yang kebetulan memang suka beli gorengan, rujak, makanan ataupun cemilan lainnya langsung dianggap orang baik, bahkan jadi sebaik-baiknya orang.
Padahal menurut saya orang pelit itu pasti punya alasannya masing-masing, masa iya dia masih harus bawa makanan atau minuman yang kesannya dibikin wajib hukumnya, ada juga orang yang cuek yang merasa tidak pernah ngemil, ngapain dia bawa-bawa cemilan ke kantor, bikin meja kotor aja. Dan yang terjadi sekarang, orang-orang yang tidak pernah bawa makanan dianggap orang pelit dan orang tidak baik, sehingga kalau misalkan si A punya makanan, dia cuma nawarin sama orang-orang yang dia anggap baik. 
Misalkan si A ini punya gorengan, terus ada si B, C, D, E, dan F. Sedangkan si E yang dianggap pelit, sehingga dengan keterusterangan yang menurut saya kurang manusiawi, si A teriak nawarin gorengan pada B,C,D, dan F, tapi tidak pada E. Padahal mereka semua duduk bersebelahan. Ya ampun, tega bangat kan tuh? Dan yang menurut saya lebih membingungkan dari urusan judging people by food ini, jika makanannya ini bukan punya si A sendiri, yah misalkan ada seseorang yang baik hati antar kue, atau ada yang kebetulan bawa brownies, yang tentunya bukan punya si A.Nah si A ini dengan segala kuasanya bisa aja tuh bagi-bagi kue dengan cara di atas, tidak mengacuhkan orang-orang yang dia anggap pelit. Nanti kalau ada sisa, baru deh ditawarin. 
Saya jadi bingung deh sama kriteria orang baik yang kaya gini, sebenarnya siapa yang lebih baik? orang yang dari awal emang tidak ada niat bawa dan bagi-bagi makanan, atau orang yang punya makanan tapi dengan sengaja tidak menawarkan kepada orang-orang tertentu cuma karena menurut pendapatnya mereka orang pelit dan bukan orang baik? Bingung udah pasti jelas saya tidak suka sikap judging, justict, fitnah dan orang-orang yg memiliki sifat seperti itu. Lebih baik kita lakukan kegiatan positif, semoga bermanfaat.

Gorengan Si Bisikan Setan

Setuju gak kalau gorengan bagaikan BISIKAN SETAN. Maunya dibeli aja walaupun sudah tahu tidak sehat, jorok, gak bersih, yang paling gawat bisa menimbulkan kanker, tapi tetap saja, gorengan tidak ada matinya!!! Siapa sih yang gak suka gorengan? penampakannya membawa selera gitu, mau tua, muda, kecil, besar, cantik, jelek semuanya suka gorengan, apalagi harganya yang murah, USD 1 bisa dapat minimal 20 biji hahaha. Walaupun tuh gerobak adanya di terminal atau di pinggir jalan yang mana PASTI gorengannya sudah diselimuti debu dan asap hitam dari bis, truck dan metromini, tapi tetap saja LAKU. Waktu jaman SMP makan gorengan udah seperti kewajiban, pas lonceng istirahat berbunyi, langsung deh nyerbu tukang gorengan. Gorengan waktu itu gede-gede, murah lagi, gk seperti zaman sekarang, kecil-kecil, mahal pula. Dulu pas awal-awal kuliah saya menemukan kembali abang tukang gorengan yang enak, letaknya di depan kampus STAIN dan sekarang sudah jadi IAIN. Gorengannya enak bangat, murah juga, cuma 1000 dapet 3, tapi kayaknya sekarang udah naik harganya, mungkin 500 satu atau berapa. Maklum udah gk berkunjung lagi pas wisuda n sekarang kerja. Tapi kalau mau beli harus berdoa dulu, harus menguatkan hati karena ini nih. Gerobak tukang gorengan yang gak pakai kaca, so 100% yakin, pasti, I’m sure, itu debu dan kotoran segala macam dari jalanan yang penuh dengan kendaraan, bus, dan truck penghasil asap hitam pasti nempel disitu. Walaupun begitu, dicuekin juga tidak tega, pengennya dicobain. Makanya saya bilang harus menguatkan hati pas beli dan memakannya. Cuek saja sama yang namanya kanker, kalau tidak ada gorengan, hidup tidak lengkap (hahaha lebay bangat yah?) Gorengan si BISIKAN SETAN… harus dicoba, kalau belum makan gorengan jangan bilang orang Indonesia deh, hahaha..

Thursday, 1 October 2015

Titik Jenuh Nabi

Setiap manusia memiliki tingkat kelemahan dan kekuatan yang berbeda satu sama lain, itulah salah satu kekuasaan Allah. Ada manusia yang baru diberi cobaan yang menurut yang lain tidak seberapa besar, tapi menurutnya cobaan itu sudah melampaui batas kekuatannya sebagai manusia, atau bahkan sebaliknya.
Saya jadi teringat kisah para Nabi dan Rasul, Nabi Nuh as pernah merasakan bahwa dirinya sudah tidak sanggup lagi membimbing kaumnya yang selalu ingkar, bahkan beliau berdo’a kepada Allah agar kaumnya diberi adzab agar hanya tersisa orang-orang yang beriman saja lagi. Tapi doanya tidak dikabulkan Allah.
Kisah Nabi Yunus as, ketika dakwahnya selalu ditolak oleh kaumnya yang ingkar, beliau sempat lari dan meninggalkan kaumnya. Namun Allah kemudian memberikan tarbiyah melalui teguran yang subhanallah, Nabi Yunus as dimakan dalam keadaan hidup oleh seekor ikan besar ketika beliau sedang tertidur, beberapa hari beliau terkurung di dalam perut ikan itu, hingga disanalah beliau merenung dan menyadari kesalahannya, kemudian beliau berdoa seraya bertasbih “ Lailaha illallah subhanaka inniquntu minadzalimin “. Setelah itu Allah baru mengeluarkannya dari perut ikan dan Nabi Yunus as kembali pada kaumnya yang ingkar untuk di dakwahi.
Jika boleh saya katakan, cerita Nabi Nuh as dan Yunus as tadi adalah saat-saat dimana mereka mengalami yang namanya titik jenuh. Meski mereka ada Nabi dan Rasul yang tingkat keimanannya diatas rata-rata, namun ada saat dimana kodrat kemanusiaannya hadir, yaitu mengeluh. Tapi kemudian Allah menunjukkan jalan sekaligus teladan bahwa rasa jenuh itu bisa dihilangkan. Rasulullah SAW adalah manusia sempurna, tingkat keimanan, ketaqwaan dan kesabaran beliau jauh melebihi seluruh manusia yang ada di muka bumi. Potret kehidupan beliau juga sungguh penuh keprihatinan sekaligus kekaguman, sehebat apapun rintangan di depannya, Rasulullah tetap pada titik kesabarannya, dan titik itu tidak pernah sampai pada titik jenuh, bahkan melonjak hingga ke titik kesabaran yang paling tinggi.
Bagaimana dengan kita sekarang? Berbicara dalam hal dakwah, tantangan dakwah di masa sekarang tidak sebesar pada masa Rasulullah atau Nabi dan Rasul yang lain. Namun, terkadang rintangan yang tidak sebesar itu ternyata mampu membuat sebagian kader dakwah, para da’i/da’iyah dan ulama sampai pada titik jenuh. Jenuh saat melihat umat tak juga sadar akan kesalahannya, jenuh saat risalah yang dibawa tak dihiraukan oleh umat, jenuh saat problematika umat semakin kompleks, dan jenuh saat satu persatu kader dakwah akhirnya berguguran ditengah perjuangan, hingga akhirnya sampai pada titik kefuturan.
Dan saya pun merasakan hal itu sekarang, akhirnya tingkat kesabaran saya bukan semakin naik, tapi malah menurun. Tapi kemudian kita kembali pada kamus hidup kita, Al Qur’an. di dalam al qur’an Allah sudah menyapa “ Wahai hamba-hambaKu yang melampaui batas, janganlah kamu berputus asa dari rahmatKu…” (QS. Az Zumar 53). 
Disanalah Allah sudah mewanti-wanti agar kita tidak boleh berputus asa, karena rahmat dan kasih sayang Allah jauh lebih besar daripada keputus asaan yang ada. Disanalah Allah memerintahkan agar kita tetap menjadi sosok yang kuat sebesar apapun rintangan yang kita hadapi, karena Allah sudah menjanjikan rahmat dan pertolonganNya bagi mereka yang bersabar dan tidak melampaui batas.
Semoga ini bisa menjadi perenungan, terutama bagi saya sendiri yang sedang merasa di titik jenuh. Yang pasti saat berada di titik jenuh, ada rasa ingin lari, namun saya yakin, bukan penyelesaian yang akan saya dapatkan, tapi justru kerugian yang amat besar. Saat Allah sudah menghamparkan jalan menuju keridhoanNya, saya justru berbalik arah dan memilih jalan lain, naudzbillah, semoga itu tidak terjadi. Wallahualam bishowab.